HISAB VERSUS RUKYAT

Setiap menjelang awal Ramadhan, perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa seakan menjadi pertanyaan yang tidak kunjung usai. “Persaingan” antara hisab versus rukyat dalam menentukan awal bulan Hijriah bagaikan menu rutin yang banyak dibicarakan orang.
Disadari atau tidak, permasalahan tersebut merupakan bagian dari kehidupan bangsa ini. Oleh karena itu, memahami akar permasalahan yang ada dapat membantu dalam menentukan sikap.
Hisab yang berarti menghitung dan rukyat yang berarti melihat, dalam arti sempit, merupakan sebuah cara yang digunakan untuk menentukan masuknya awal bulan Hijriah, seperti Ramadhan dan Syawal.
Dalam pandangan masyarakat luas, keduanya merupakan dua metode yang saling bertolak belakang. Padahal, dari sudut pandang astronomi, hisab dan rukyat bagaikan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Pandangan masyarakat luas tersebut mungkin dikarenakan kedua konsep tersebut digunakan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dalam pemahaman umum, diakui atau tidak, pendapat/ajaran yang berasal dari kedua ormas tersebut sering kali “bertentangan”.
Sebuah metode
Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada.
Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Sebagus dan sebaik apa pun sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar.
Demikian juga halnya dengan rukyat. Pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan.
Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu falak—yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi—modern saat ini merupakan observational sains.
Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat—yang notabene merupakan proses pengamatan—bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami.
Kecenderungan itu dapat dilihat dari pandangan kaum santri di pesantren, yang umumnya dari kalangan NU, bahwa ilmu falak merupakan ilmu yang sulit dan tidak menarik. Hal ini bisa diakibatkan karena rukyat jarang—bahkan tidak pernah—dipraktikkan kecuali ketika menjelang awal dan akhir Ramadhan.
Pelaksanaan rukyat hilal
Rukyat hilal dilaksanakan setiap tanggal 29 pada bulan Hijriah menjelang matahari tenggelam. Hasil yang diperoleh merupakan penentu masuknya awal bulan baru. Untuk menentukan awal Ramadhan 1427 H, rukyat dilaksanakan pada tanggal 29 Sya’ban 1427 H, bertepatan dengan 22 September 2006.
Jika rukyat memberikan hasil positif, maka pada malam itu telah masuk tanggal 1 Ramadhan 1427 H dan shalat tarawih dapat dilaksanakan. Dan, jika tidak memberikan hasil, maka keesokan harinya adalah tanggal 30 Sya’ban dan awal puasa Ramadhan bertepatan dengan 22 September 2006.
Sayangnya, berdasar data astronomi yang dihasilkan dari metode yang sudah teruji keakuratannya, hilal pada tanggal 22 September 2006 tersebut tidak dapat dirukyat. Hal ini dikarenakan hilal sendiri—yang didefinisikan sebagai sabit pertama yang terlihat setelah konjungsi—belum terbentuk. Hal ini menjadikan tanggal 1 Ramadhan 1427 H bertepatan dengan 24 September 2006.
Senada dengan permasalahan awal Ramadhan 1427 H, hilal awal Syawal juga masih mustahil untuk dirukyat pada 29 Ramadhan 1427 H (22 Oktober 2006). Hal ini bukan dikarenakan hilalnya belum terbentuk, melainkan hilal tersebut berada jauh dari batas kriteria visibilitas yang ada.
Secara teori, hilal memang sudah terbentuk, tetapi posisinya yang sangat dekat (kurang dari 1 derajat) dengan matahari menjadikannya mustahil untuk disaksikan. Oleh karena itu, berdasar visibilitas hilal, dapat diprediksikan bahwa 1 Syawal 1427 H seharusnya bertepatan dengan 24 Oktober 2006.
Pelaksanaan rukyat hilal seperti di atas didasarkan pada tuntunan Nabi Muhammad SAW yang tertuang dalam banyak hadis. Di antaranya adalah perintah dalam mengawali dan mengakhiri puasa bila hilal telah dapat dirukyat. Pengertian rukyat tersebut kemudian berkembang. Sebagian ulama menerjemahkannya dengan rukyat bi ilm alias hisab.
Berdasar pemahaman ini, meski hilal belum terlihat tetapi telah terbentuk, awal bulan dapat ditentukan. Pemaknaan ini yang diikuti oleh ormas Muhammadiyah dan Persis, meskipun keduanya berbeda dalam penggunaan kriteria awal bulan.
NU pada mulanya hanya berpegangan pada hasil rukyat semata. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, NU mulai menerima hisab sebagai pemandu dalam pelaksanaan rukyat. Saat ini NU menggunakan kriteria imkan rukyat yang disepakati oleh negara-negara Mabims, yang beranggotakan Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Sengaja NU tidak mengeluarkan kriteria imkan rukyat yang unik karena hanya akan menyebabkan perbedaan yang semakin lebar. Dengan mengikuti kriteria imkan rukyat yang disepakati bersama tersebut diharapkan kesatuan dapat terwujud. Bukankah perbedaan yang ada hanya dapat dijembatani dengan kesepakatan bersama? Jika kesepakatan itu dilanggar, maka kesepakatan perbedaan tersebut akan selalu terjadi dan berulang.
Pemanfaatan hisab-rukyat
Perbedaan yang selalu terjadi tentunya akan membuat masyarakat semakin heran dan bertanya-tanya, mengapa dalam permasalahan awal bulan ulama panutan kita tidak dapat bersepakat? Oleh karena itu, pendidikan publik melalui diskusi dan seminar merupakan kebutuhan yang selayaknya diselenggarakan.
Hanya saja, diskusi dan seminar yang ada selama ini umumnya baru mencoba mempertemukan dua kubu dengan membahas landasan hukum yang selama ini dianggap bertentangan. Akibatnya, hasil akhir dari diskusi dan seminar selalu dikembalikan pada keyakinan hati masing-masing untuk mengikuti konsep dan kaidah yang ada.
Pada dasarnya, hisab dan rukyat—di samping sebagai bagian dari hukum fikih yang memang mengandung banyak perbedaan pendapat—merupakan bagian dari sains. Oleh karena itu, pemanfaatan unsur sains “hisab-rukyat” tersebut untuk pembelajaran kiranya dapat menumbuhkan minat dan ketertarikan siswa/santri untuk mempelajari ilmu falak lebih jauh.
Permasalahan arah kiblat, waktu shalat, dan kalender melibatkan konsep matematika, fisika, dan astronomi yang menarik untuk dikaji. Perhitungan arah kiblat, misalnya, pada dasarnya merupakan permasalahan konsep segitiga bola yang penuh dengan konsep trigonometri.
Adapun perhitungan waktu shalat sangat terkait dengan pergerakan matahari. Tentunya menarik jika dalam menghitung waktu shalat tersebut juga dikaitkan dengan pengamatan matahari dan mencoba memahami proses hantaran panas dari matahari hingga ke bumi. Begitu juga halnya dengan hilal yang sering mengundang tanda tanya dapat dimanfaatkan untuk mencoba melihat secara geometri bagaimana hilal dapat terbentuk.

Persiapan rukyat dan mengukur posisi hilal juga merupakan aktivitas yang saintifik karena diperlukan pengetahuan arah, sudut, dan panjang dalam pelaksanaan rukyat hilal. Dari ragam kegiatan sains hisab-rukyat tersebut diharapkan siswa/santri lebih memahami fenomena alam yang terjadi sehingga dapat menentukan sikap berdasar bekal pengetahuan yang dimilikinya.

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

About

Assalamu'alaikum Ahlan Wa Sahlan Bihudzuurikum Salam hangat saling menyapa dan berbagi untuk membangun negeri . . . .

Search

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.