Kembali Pulang


Bus melaju lebih pelan. Terminal telah mulai terlihat. Seorang kondektur berteriak-teriak  “Semarang . . . .Semarang. siap-siap sudah mau mau masuk terminal.” Para penumpang mulai berdiri dari tempat duduk mereka, termasuk arif. Dia berdiri dari empat duduknya dan membawa koper yang berada di atasnya. Bus telah memasuki terminal dan akhirny berhenti. Para penumpang turun dari bus. Telah banyak kondektur bis-bis mini menyambut para penumpang.
            Arif terus berjalan menanti bis jurusan rumahnya. “Mas, pedurungan ya mas? Tanya seorang kondektur bis mini. “ oh ya . . . ya”. Jawab Arif . “silahkan mas”. Arif langsung berjalan menaiki bus tersebut dengan membawa koper yang berisi pakaian-pakaiannya.masih tampak banyak kursi yang masih kosong, Arif menempati kursi yang berada di tengah. Dirinya melihat keluar jendela, tampak kota Semarang tidak seperti dengan yang dulu.
            Sepuluh menit kemudian bus berangkat dari pemberhentianya. Mungkin akibat perjalanan yang jauh, baru saja bus berangkat dari pemberhentianya Arif telah tertidur. Tapi belum genap dua menit Arif tertidur seorang kondetur membangunkan dirinya.
“Mas ?” Sang kondektur membangunkan Arif dengan menjulurkan tanganya.
“Oh . . . . Ya ini mas ?arif memberkan tiga lembar uang seribuan.
            Kembali Arif melihat luar jendela, terlihat kemacetan sepanjang lintasan jalan. Kendaraan-kendaraan sulit diatur. Arif merasa berbeda ketika waktu kecil dulu, tidakda kemacetan, kendaraan masih sedikit sehingga mudah untuk mengaturnya, tidak seperti sekarang ini. Jarak dari terminal ke rumah Arif memang relative jauh, jika tidak terjebak macet membutuhkan waktu urang lebih 25 menit, apalagi jalan macet , bisa sampai satu jam untuk bisa sapai rumah.
            Bus berhenti untuk mnaikkan penumpang. Seorang setengah baya memakai jaket memasuki bus. Wajah terihat pendiam, rambutnya sedikit keriting, umurnya sekitar dua puluh dua tahun. Dirinya mengambil duduk di samping Arif karena kursi yang kosong hanya disitu.
“Mas, ini bus ke citarum ya? Tanya seorang laki-laki itu dengn nad yang sopan.
“Eeem . . . . iya mas. Rumah mas sana ya?”
“ Iya. Rumah saya daerah citarum, dekat dengan stadion. Mas sendiri dari mana?”
“Saya dari Sarang , Rembang.” Jawab arif
“Mas mondok ya ? Tanya seorang laki-laki itu lagi
“Mas kok tahu, apa mas lulusan dari sana ya?” Tanya arif.
“Enggak, saya dulu pernah mondok di Kudus, tepatnya di Balaitengah. Seteah itu saya meneruskan ke Kajen, Pati. Ya  kalau Sarang sih saya tahu. Itu kan pondok besar.”terang orang laki-laki berjaket hitam itu.
“Saya sebelum di sarang juga mondok di Kudus empat tahun. Oh ya kita belum berkenalan, nama mas siapa?” Tanya Arif
“Qosyim Hasan Ali, panggil saja Qosyim. Lha nama mas sendiri siapa?
“ Arif Abdullah Hasan, bisa dipanggil Arif. Rumah saya di Perumahan Pondok Indah no 210, mudahnya depan Alfamart. Ya, kapan-kapan bisa main ke sana.”
            Mereka berbincang-bincang dengan hangat seperti sudah dangat akrab walaupun baru bertemu kuarang dri setengah jam. Qosyim melihat luar jendela, tidak beberapa lama dirinya telah tertidur. Qosyim yang ada di sampingnya mengerti kalau Arif pasti merasa lelah setelah melakukanperjalanan kauh. Qosyim membuka tasnya dan mengambil sebuah buku bacaan. Dia membaca buku bacaan tersebut, dan arif terlelap dalam tidurnya.

                                                     « « « « «

            Di rumah Arif yang sederhana pak Saiful dan bu Saiful telah menunggu kedatangan Arif. Kedua orangtuanya sengat mennti-nanti anak pertamanya itu. Sudah lebih dari setengah tahun Arif tidak menginjakkan kaki di lantai rumah itu. Bagi bu Saiful yang mnjad ibunya merasa sangat rindu terhadap putra bungsunya itu. Begitu juga adiknya yang masih menginjak kelas empat SD, apabila kakak pertamanya itu pulang ke rumah pasti dirinya diajak untuk bersenang-senang oleh kakanya, dan itu yang membuat dirinya sangat gembira dengan kedatangan kakaknya. Sedangkan adik keduanya sedang menuntut ilm di Kudus dan masih menempuh jenjang Tsanawiyyah.
“Pak sebentar lagi Arif paling sampai rumah, dia nelpon tadi siang katanya sudah mau perjalanan ke rumah. Bapak mau ngasih dia apa?” Tanya bu Saiful yang sedang berbincang-bincang dengan pak Saiful di ruang tamu menanti kedatangan anaknya.
“Bapak mau ngasih dia kejutan yang hebat. Yang arif belum tahu, dia pasti mengharapkanya, dan apabila dia tahu pastidia akan senang.” Kata pak Saiful.
“Apa itu pak?” Tanya bu Saiful penasaran.
Kemarin aku sama mas Rohmad teman kerja bapak membuka sius internet tentang beasiswa Al-Azhar. Kemain Arif kan mengikuti tes beasisw tersebutlewat Depag dan suatu berita yang menggembirkan bu! Dia di terima di Al-Azhar dan mendpatka beasiswa.” Terang pak Saiful.
“Alhamdulillahirobbil’alamiin. Beneran itu pak?” Tanya bu Saifu masih kurang percaya.
“Beneran bu, masa bapak mengada-ada. Ya udah ibu siapkan masakan dulu untuk kedatanganya Arif. Oh ya bu, Jum’at yang akan datang kan bapak narik tahlil, bagamana kalau dibaregkan dengan syukuran untuk keberhasilan anak kita.
“Ya terserah bapak aja tho, iu tinggal ikut saja. Tak ke dapur dulu ya pak, nyiapin masakan untuk Arif.”
            Pak Saiful tersenyum. Bu Saiful berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makanan guna menyambut kedatangan anak sulungya yang telah boyong1 dari pondok pesantren. Bu Saiful telah menyediakan koloke2 yang menjadi masakan kesukaan Arif ketika berada di rumah. Semua itu tidak lain hanya untuk membahagiakan anaknya.

                                                « « « « «
 

1.seseorang jika telah tamat dari pondok dan pulang ke rumahnya.
2.masakan yang dibuat dri sayur-sayuran seerti wortel, kubis, bawang Bombay, dan di campur dengan caos.

                                   
Hari telah memasuki sore. Jam telah menunjukkan pukul empat. Matahari telah mengeluarkan cahaya kuningnya. Angin bertiup sepoi-sepoi. Bus yang Arif tumpangi telah memasuki kawasan Citarum. Keadaan jalan telah lebih lancer tidak seperti awal tadi. Arif masih terlelap dalam tidurnya, sedangkan Qosyim telah bersiap-siap untuk turun dari bus. Qosyimpun dengan terpaksa membangunkan Arif yang masih terlela tidur untuk berpaitan.
“Arif, rif, suah sampai Citarum, aku mau turun dulu.” Kata Qosyim membangunkan Arif.
            Arif terabangun, matanya terlhat merah masih mengantuk. Tangan kanannyan mengucek kedua matanya.
“Oh ya . . . . ya, sudah sampai ya? Kapan-kapan main ke rumahku !”
“Insyaallah, kamujuga. Ya sudah ku dluan ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Arif.
            Bispun berhenti dan Qosyim turun dari bis terlihat emasuki jalan kearah timur. Bis kembali melaju melewati jembatan Citarum. Arif menatap  ke luar jendela. Terbayang oleh wajah kedua orang tua dan kedua adiknya. Tiba tiba dia teringat test beasiswanya untuk dapat kuliah di Al-Azhar. Hamper setiap malam arif berdoa agar diterima di universitas ternama itu. Tidak mudah untuk mendapatkannya. Bisa dianggap bandinganya satu banding seribu.
            Bis berhenti pada traffic light. Sudah banyak penupang yang turun. Hanya tinggal empat penumpang di dalam bus degan satu kondektur dan supir. Rumah Arif tinggal satu kilometer lagi. Bus melaju dengan kencang, Diri Arif sudah tida sabar untuk menginjakkan kakinya di rumah tercinta. Bus elewati jalan soekarno-hatta.
“Mas turun pondok indah tho?” Tanya seoranng kondektur kepada Arif.
“Ya, ya terima kasih.” Jawab Arif.
“Siap-siap mas sudah hampir sampai.”
            Arif berdiri dari kursi tepat duduknya dan mengangkat koprnya serta memanggul tasnya. Dia berjalan menuju pintu depan busuntuk turun. Buspun berhentitepat di depa gnk dimana rumah Arif berada. Dia melangkahkan kaki keluar dari bus yang dia tumpanginya.
            Suasana kampong yang dimana dirinya dilahirkn masih terlihat seperti dulu, hanya ada sedikit perubahan. Tampak sebuah rumah berspanduk “Penjual Pulsa”, padahal terakhir dia menginjakkan kaki di kampung ini belum ada tulisan itu. Arif sedikt mempercepat langkahnya untuk cepat sapai ke rumah.
            Sepatu Arif telah menginjak tanah di depan rumahnya, gerbang rumah tertutup. Tangannya membuka pintu gerbang itu dengan hati-hati. Pintu rumah terlihat terbuka tapi tampak sepi jika dilihat dari luar, mungkin bapak dan ibunya masi berada di dalam rumah.
“Assalamu’alaikum.” Arif mengcapkan salam.
“Wa’alaikumussalam.”Jawab pak Saiful dan Bu saifu serentak yang masih berada didalam rumah.
            Pak Saiful dan bu Saiful berjalan keluar dari dalam rumah. Arif langsung mencitanga kedua orang tuanya tersebut. Bu Saiful hampir tidak dapat menahan haru melhat kedatangan anak sulung yang dia tunggu-tunggu kedatanganya. Hati seorang ibu memang sangat peka dengan apa yang dirasaan oleh seorang anak. Apalagi seorang anak yang berada jauh dari rumah. Bu Saiful sendiri masih berfikir-fikir jika nanti putra sulungnya, Arif, harus pergi lebh jauh lagidn diluar tanah air. Hal itu pasti membuat hati bu Saiful merasa kangen oleh kehadiran anaknya. Padahal di Mesir nanti bisa-bisa Arif mngkin pulang ke rmah sesudah dia menyelesaikan S1nya. Tapi dei pendidikan anaknya sebuah rasa kangen tidaklah penting, yang paling penting anaknya dapat ilmu dan berhasil menjalani kehdupan.
Mereka bertiga masih berada di ruang keluarga sedang berbincang-bincang. Haqi, adik Arif yang baru saa bermin bersama teman-temannya berlari emasuki rumah. Melihat kakak pertamanya berada di rumah dia langsung memeluk kakaknya yang masih menggendong tas di pundaknya.
“Haqi, kakak bawa sesuatu buat kamu.” Kata Arif terada adiknya.
“Apa itu kak ?” Tanya Haqi penasaran.
            Arif membuka tas yang masih ia ada di pundaknya. Tangan nya megeluarkan sebuah kopiah dan baju koko putih yang sengaja dibelinya untuk oeh-oleh adiknya tercinta. Haqi menerima dengan kedua tanganya.
“Terima kasih ya kak.” Ucap Haqi terhadap kakanya.
            Melihat tingkah kedua anaknya, bu Arif da pak Arif tersenyum kecil. Keduanya merasa bahagia melihat kakaban kedua anaknya itu.
“Ya sudah sana arif kamu mandi dulu, pasti kamu capek seharian perjalanan. Nanti kita jamaah bersama. Oh ya ibu suda masakan kolke kesukaan kamu.”kata bu Saiful.
            Arif mengangkat koper yang dia bawa menju kamarnya. Haqi membawakan tas kakaknya dan mengikuti Arif di belakang. Sedangkan pak Saiful dan bu Saiful masih berad di tempat tadi membicarakan masa depan anak sulungnya itu.
“Pak adi kok gak langsung diceritakan tentang diterimanya dan mendapatkan beasiswa kuliah di Al-Azhar.”
“Nanti aja bu, Arif kan pasti capek. Dia membuthkan istirahat. Lagi pula bapak juga mau menjadikan itu suatu kejutan buat Arif. Besok Insyaallah akan bapak printoutkan hasil testnya. Ibu sabar dulu aja.

                                                 « « « « «

            Malam terasa dingin. Gelap malam tersinari oleh cahaya bulan purnama. Suara kehidupan malam terdengar sayup-sayup diluar rumah. Arif masih membaringkan tubuhya diatas ranjang tempat tidurnya. Rasa capek setelah menempuh perjalanan yang jauh maih melekat di seluruh tubuhnya. Malam itu diriya ingin langsung tidur dengan nyenyak. Di smpingnya sebuah mp 4 miliknya dihidupkan lagu-lagu sholawat Habib Syeh. Seorang Habib yang berasal dari solo itu suah dia keal semenjak dirinya mondok di Kudus itu. Lantunan syair-syair sholawatnya sudah sangat popular di wilayah jawa tengah. Sampai-sampai beliau mendapatkan julukan Suara Emas. Arif mendengrkan lantunan demi lantunan sambil duduk diatas ranjangnya.
            Arif merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Dalam fikirannya masih terpikir ole pesan kiainya dulu ketika akan boyong dari pondok pesantrennya dulu. “Amalkanlah semua ilmu yang telah kamu dapatkan. “Tapi apakah aku sudah bisa  dan pantas untuk mengamalkan ilmu yang telah aku dapatkan, sedangkan aku msih sedikit iilmu dalam masalah agama.” Lirih Arif dalam “Kowe ora bakal biso nemu manfaate ilmu sa’durunge kowe ngamalake  ilmu seng kok isoni.”3 kata- kata itu masih tertancap dalam hati Arif.
benak hatinya. Dalam benak hatinya masih tertanap keinginan untuk terus mendalami ilmu agama. Karena banyak kiai-kiai yang mondok tidak hanya tiga sampai lima tahun. Bahkan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya. Seakan- akan masih haus dalam menari ilmu. Dalam setiap doanya Arif selau memohon kepada Allah untuk dirinya dapat diterima di Al-Azhar Cairo, Mesir.
           

                                                  « « « « «

            Hari telah memasuki waktu sore. Aliran sungai nil tampak terlihat gemerlap bagai ada intan di dalamnya. Kota Cairo yang pernah tempat nabi Musa a.s dan nabi Yusuf berdakwah. Dan disitulah Fir’aun yang sombong ditengggelamkan oleh Allah SWT. Lampu-lampu jala, gedung-gedung menyala menyambut akan datangnya malam hari.
           
Arif masih berdiri di tengah-tengah jembatan penyambung yang menyebrangi Sungai Nil. Betapa bahagianya dirinya dapat berdiri di tengah-tengah negrinya para Nabi ini. Dirinya ingin meihat suasana matahari terbenam dari sungai penuh sejarah itu. Yang dimana sungai itu pernah di beri surat dari Umar bin Khotob, dikarenakan membuat masyarakat menjadi musyrik.
3.Kamu tidak akan mendapatkan manfaatnya ilmu sebelum kamu mengamalkan ilmu yang sudah kamu bisa.
Ketika itu sungai Nil megalami kekeringan dan masyarakat memberikan seorang gadis untuk dijadikan tumbal. Melihat kejadian itu Umar bin Khotob memberi selembar kertas berisi tulisan surat ancaman untuk sungai itu dan dengan kehendak Allah SWT sungai Nil tidak kekeringan lagi.
Matahari sudah mulai terbenam, Arif melihat keindahan terbenamnya matahari. Dirinya harus pulang, Dirinya menaiki bis menuju flat dimana dia tinggal. Di dalam bus ia mendengarkan lagu dari penyanyi wanita timur tengah, suaranya merdu, tapi dia belum terlalu kenal dengan penyanyi-penyayi timur tengah. Tangannya membawa Habasyi takanat yang dia beli di toko saat jalan-jalan tadi untuk makan malam.
Bus melaju dengan kecepatan cepat. Tiba-tiba bus oleng. Sang supir yang megantuk mengakibatkan keadaa bus tak terkendali. Buspun terjatuh dan menabrek trotoar jalan. Keadaan semakin tak terkendali, Arif terhimpit diantera kursi-kursi. Dirinya melihat kearah peumpang, terlihat sudah banyak yang tewas. Arif ingin berteriak minta tolong tapi suaranya sudah melemah, sulit baginya untuk mengucapkan.
“Aaaakh.” Teriakan kecil menggema di kamar Arif. Mimpi buruk mendatangi Arif. Arif terbangun dari tidurnya dan duduk diatas ranjang. Bibirnya terus mengucapkan Istighfar untuk menenangkan diri. Arif bangun dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan melasanakan solat tahajjud. Daam langkanya hatinya terus mengucapkan kalimat Istighfar. Setelah wudlu dirinya melaksanakan sholat taajjud dalam dinginya malam. Dalam sholatnya takterasa air mata membasahi kedua pipinya. Dalam sujudnya Arif Arif membaca tasbih dengan khusyuk.
Selesai sholat dirinya bertaqorrub kepada Allah. Hatinya anya ingi mendapat ridho dari Allah. Setelah berdzikir Arif berdiri mengamdil Alqur’an yang berada di atas meja didepannya. Kedua bibirnya melantunkan ayat- ayat Alqur’an. Hatinya terasa larut dalam lantunan ayat-ayat suci. Angin bertiup-tiup diluar seakan-akan membca tasbih kepada Allah. Sasana hening, dimana pada tengah malam para salafussholihin meggunakannya untuk bertaqorrub kepada Allah.

Lain Syakartum Laaziidannakum Walainkafartum Innaa ‘Adzabii Lasyadiid.


Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

About

Assalamu'alaikum Ahlan Wa Sahlan Bihudzuurikum Salam hangat saling menyapa dan berbagi untuk membangun negeri . . . .

Search

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.