Kejutan Membahagiakan


Pagi terlihat cerah. Suasana masih sedikit terasa segar. Asap knalpot belu menyebar luas menyelimuti hawa segar. Jam menunjukkan pukul empat lebih empat puluh lma menit. Bu Saiful telah menyiapkan makanan untuk sarapan pagi, sedang pak Saiful bersiap-siap untuk berangkat kerja. Haqi masih santai-santai meonton acara televise. Kebiasaan seperti itu telah dirasakan oleh Arif semenjak dirinya belum mondok di Kudus. Arif masih termenung di depan halaman rumahnya. Suasana di rumahnya tidak seperti dengan suasana di Kudus dan di Sarang. Suasana di sana masih penuh dengan pohon-pohon yang masih alami sehingga udara belum tercemar oleh polusi. Tidak seperti udara di rumahnya yang penuh dengan pousi udara, tidak terlihat pepohonan melainkan bangunan rumah yang rapat-rapat.
“Ayo haqi cepat gantian mandinya sana nanti terlambat lho ! perintah bu saiful kepada Haqi yang masih berada di depan televisi.
“ya, bu.” Haqi berlari menuju kamar mandi dengan mencopot pakaiannya.
            Terdengar suara angkah kaki mendekati Arif yang masih duduk melihat ke luar rumah. Pak Saiful mendekati Arif. Tangan kanannya memegang pundak Arif.
“Mikirin apa kamu kok bengong sendirian?” Tanya pak Saiful.
“Eh . . . . gak ada apa-apa kok pak. Cuma liatin suasan kampung ini.” Kata Arif seraya membalikkan badannya. Pak Saiful terus berbincang-bincang dengan anak sulungnya itu di tras rumah. Makanan yang disiapkan oleh bu Saiful telah tertata rapi di meja makan. Bu Saiful melangkahkan kaki berjalan menuju teras rumah menghampiri pak Saiful dan Arif yang sedang berbincang-bincang.
“Ayo pada sarapan dulu. Sudah disiapin semua lho.” Ucap bu Saiful.
“Ya sudah Arif kita sarapan dulu.” Kata pak Saiful sambil beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ruang makan. Arif mengikurinya di belakang dengan jalan yang pelan.. haqi yang telah selesai mandi langsung cepat-cepat memkai seragam sekolahnya. Ia berlari ke ruang makan dan duduk di samping kakaknya.
“kak, kalau makannya ndak kayak begini? Tanya Haqi kepada arif yang duduk di samping kirinya. Arif tersenyum mendengar pertanyaan dari adiknya.
“ ya ndak lah. Di pondok itu apa adanya. Tempe ya tempe. Tahu ya tahu. Tapi enaknya disana penuh dengan kebersamaan. Walaupun tempe tapi nikmatnya melebihi daging ayam.” Arif menjelaskan tentang makanan pondok kepada adiknya.
            Pak Saiful dan bu Saiful tersenyum kecil. Mereka snang melihat keakraben kedua anak mereka. Kursi di kanan Ari terlihat kosong. Dari lima kursi yang ada terlihat kosong satu. Di kursi situlah biasanya ditempati oleh Fikri adiknya yang sedang mondok di kota kudus. Kebersamaan yang ada terasa kurang tanpa adanya Fikri. Tapi degan adanya Arif di rumah membuat kekurangan itu menjadi hilang seketika.
            Selesai makan Haqi bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasanya setiap brangkat ke sekolah ia slau diantar oleh bapaknya. Pak saiful telah memanaskan sepeda motornya di halaman rumah. Jari-jari Haqi sibuk mengikat tali spatunya. Selesai memakai sepatu iapun berdiri menghampiri Bu saiful dan kakaknya Arif yang berdiri di belakangnya. Dengan rasa ta’dzim iapun bersalaman dan mencium tangan kakak dan ibunya. Pak saiful yan dari tadi berdiri diluar rumah berjalan mendekati Arif.
“ Rif, nanti bapak pulag agak sore sedkit, ya kira-kira pukul tiga lebih. Bapk minta tolong nanti kamu yang Jemput Haqi ya.” Ujar pak Saiful kepada Arif.
“Insyaallah pak.”
“Ya sudah bapak sama Haqi berngkat dulu. Assalamu”alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab arif dab u Saiful serempak.
            Haqi menaiki motor membonceng di belakang pak Saiful. Pak Saiful menjalankan sepeda motornya. Haqi meaimbaikan tangan kananya. Balasan lambaian dan senyuman dikeluarka oleh Arif dan bu Saiful. Lama-kelamaan motor pak Saifu ulai tidak nampak. Suasana menjadai sepi kembali. Arif dan bu saiful kembai masuk kedalam ruah kembali mengerjakan tugas-tugas kehidupan.

                                                  « « « « «

            Keadaan kantor pak Saiful telh terlihat banyak pegawai yang telah datang. Disebuah perusahaan sarung yang berada di kota Semarang iru pak Saiful bekerja pada bagian pemasaran dan promosi. Kejujuran dalam bekerja terutama pada mempromoskan suatu produk membuat banyak karyawan yang menyenanginya, bahkan pak Imron selaku direktur perusahaan senang sekali apabila mengobrol dengannya. Semua itu lants tiak mebutny sombong akan tetapimalah membuatnya semakin rendah diri. Bahkan pernah pak Imron menawarinya sebagai staf bendahara perusahaan, tapi iapun menjawab dengan perkataan yang merendah “Nanti kalau saya menjadi bendahara perusahaan saya akan berurusan dengan urusan dunai yang rumit dan bisa melalaikan ukhrowi. Menurut saya saya masih belum bisa dan tidak pantas memegang uang seratus riban yang jumlahnya ratusan lembar. Apalagi sebagai bendahara merupakan suatu amanat yang sangat besar apabila saya lupa sedikit saja dari amanat tersebut saya bisa terjilat oleh panasnya api neraka. Saya juga senang menjadi bagian pemasaran karena membuat saya menjadi lebih pengalaman.” Itulah kata-kata yang keluar ketika pak Saiful ditawari oleh sang dirktur perusahaan sebuah jabatan yang bergaji tinggi. Pdahal sebuah jabatan bendahara merupakan incaran banyak orang.
            Pagi itu pak Saiful ingin mengeprint hasil test besiswa penerimaan mahasiswa universitas Al-Azhar Cairo yang telah di kelarkan lewat internet.. jam menunjukkan pukul sepuluh tepat. Sudah setengah dari seluruh pkerjaan pak Saiful selesai dikerjakan. Waktu tersebut dapat digunakan untuk meluankan istirahat sejenak. Dalam kesempatan itu pak Saiful mengajak satu temannya untuk pergi ke warung internet mengeprint hsil test beasiswa yang telah ia idam-idamkan. Ia mengajak Syafi’I yang merupakan teman akrabnya di kantor.
“Syafi’I ayo kamu saya ajak keluar sementr pergi ke warnet.”
“Ngapain kita ke warnet. Pake komputer kantor kan bisa pak tinggal connectkan saja WI-FInya kan sudah bisa.”Ujar Safi’i
“Ini kan kepentingan pribadi tidak bolehkan pake komputer yang tidak untuk pribadi. Komputer itu kan untuk perusahaan, nanti aku malah berbuat dzolim.”
Syafi’I terdiam salut dengan jawaban yang dilontarkan oleh pak Saiful.
“Maksudnya pribadi apa pak, apa pak Saiful punya facebook atau malah sudah punya website.” Goda Syafi’I kepada pak Saiful.
“Kamu itu sukanya ngaco saja ya. Kalua suruh ngarang kamu itu jagonya, apa saat dulu kamu pemenang lomba ngarang. Masak aku punya pesbuk. Paham aja nggak. Sudah tua kok maunya neko-neko. Yok langsung saja waktunya gak panjang.nanti kamu akan tahu sendiri. Gak usah nanya dulu.”
            Mereka berdua beranjak keluar dari kantor mengambil sepeda motor. Seorang satpam perusahaan berdiri di depan gerbang menyapa pak Saiful.
“Mau kemana pak?” Tanya sag satpam.
“Pergi ke warnet sebentar.”
            Pak Saiful memboncengkan Syafi’I melajukan sepeda motornya keluar halaman kantor mencari warnet terdekat dengan kantor. Pak Saiful melajukan kendraannya pelan, melhat kanan-kiri jalan. Dikanan jalan tertulis spanduk kecil bertulias ZA.net. Pak Saiful membelokkan motornya menuju warnet tersebut. Setelah memarkirkan sepeda motor mereka berdua bergegas masuk ke dalam warnet tersebut. Di dalam masih terdapat tiga bilik yang kosong . mereka berdua masuk ke bilik nomer dua belas. Dalam masalah internet memang pak Saiful masih dalam tingkat amatir, tetapi syafi’i temanyya sudah mahir dalam masalah internet. Pak Saiful mengetikkan pada Google search engine Daftar Calon Beasiswa Al-azhar Mesir. Terlihat banyak pilihan yang dikeluarkan oleh google. Pak Syaifl memilih salh satu dan mengkliknya. Hanya beberapa detik jaringan telah terakses ke website yang ingin dikunjungi oleh pak Saiful. Pak Saiful mencari nama Arif Abdullah Hasan pada layar monitor. Pandangannya serius melhat setiap huruf yag tertulis pad wbsite tersebut. Tepat pada nomer dua puluh tiga tertuis nama Arif Abdullah Hasan dengan alamat JL. Pondok Indah no 210 Pedurungan Semarang Indonesia. Pak Saiful sangat yakin bahw yang tertulis itu adalah nama anak sulungnya.
“Wah, pak, anknya mendapatkan besiswa unversitas Al-zhar mesir tho? Hebat banget. Bapak sama anaknya hebat semua. Tidak sembarang orang bisa kuliah di universitas idaman manusia se jagad itu.” Kata Syafi’I memecah keheningan.
Mendengar perkataan tean satu kantornya itu pak Saiful tersenyum kecil. “ Mulai lagi tho. Jangan brlebihan gitu kalo memuji.”
“Saya memang benar-benar kagum dengan keluarg bapak, semuanya hebat. . ” omongan Syafi’I terputus.
“sudah saya bilang jangan memuji lagi.” Pak Saiful memotong pembicaraan syafi’i.
            Pak Saiful berjalan keluar bilik menuju ke server untuk mengeprint halaman yang diinginkanya. Sang server menghidupkan printnya setelah pak Saiful memintanya untuk mengeprintkan hasil testnya.
“Nomer berapa, pak?”. Tanya sang server
“Dua belas, mas.”
            Sang serverpun berjalan menuju ke tempat komputer pak Saiful. Nampak Syafi’I sedang membuka situs chatinig di dalam bilik tersebut. Sang server mengotak-atik komputer dan mengirimkan file yang berisi daftar penerimaan beasiswa ke komputer miliknya. Ia pun kembali ke tempat duduknya. Tak kurangdari lima menit hasil print sudah keluar dari mesin print. Syafi’I mematikan komputer dalam bilik nomer dua belas dan pak Saiful berjalan menuju ke server.
“Semuanya berapa, mas?” Tanya pak Saiful kepada sang server.
Pemuda yang menjaga warnet melihat ke komputernya. “internetnya dua ribu lima ratus dan printnya seribu, jadi semuanya tiga ribu lima ratus.”
            Pak Saiful mengambil selembar uang lima ribu dari dalam saku celana hitamya dan menyerahkannya pada server.
“Ini pak kembaliaanya.” Sang server menyerahkan selembar uang seribu dan sekeping uang lima ratus rupiah kepada pak Saiful.
“Terima kasih, mas.” Ujar pak Saiful.
“Sama-sama, pak.”
            Pak Saiful bersama Syafi’I berjaan keluar dari warnet tersubut kembali ke kantor menyelesaikan tugas das pekerjaan mereka.
“Jadi, selama ini mas Arif diterima di cairo ya, tapi mengapa bapak tidak pernah cerita kepada saya?” wajah Syafi’I menatap pak Saiful.
“Ya Alhamdulillah Arif bisa diterima di universutas incaran umat musim di sluruh dunia. Saya pun pertama kaget dan hampir tak percaya kalau Arif bisa diterima disana. Sejak dulu memang Arif mendambakan ingin bisa kuliah disana, dengan semangat ia mencari ilmu agama. Dan ini merupakan keanugrahan Allah yang diberikan kepada anak saya. Memang saya sengaja tidak member tahu dulu kepada teman-teman supaya saya tidak berkesan sombong.”
            Mendengar pejelasan dari pak Saiful, Syafi’imerasa mendapatkan pelajaran baru yang berharga. Merek berdua melajukan kendaraannya meninggalkan warnet kembali menuju ke kantor.

                                                « « « « «

            Ari memasuki siang. Di dalam kamar Arif sedang khusyuk membaca kitab fathul mu’in karangan syekh Zainuddin Al-Malibari. Tiba-tiba ia teringat akan pesan bapaknya untuk menjemput aqi di SDnya. Arif mendongakkan kepala menatp jam dinding yang menempel di dinding kamarnya. Jarum jam menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. Ia langsung menutup kitabnya dan enaruhnya diatas meja belajarnya.
“Arif, sudah mau jam stu sana cepat jemput adik kamu.” Ucap bu Saiful mengingatkan Arif.
“Ya bu, ini sudah mau berangkat.”
Arif mengambil jaket hitam diatas ranjangnya berlari ke belakang mengambil sepeda motornya.
“Bu, berangkat dulu, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, hati-hati.”
            Suasana jalan yang begitu sepi membuat Arif dapat melajukan kendaraannya sedikit cepat. Didepan pandagan terlihat lampu traffic light menyala merah. Arifpun menghentikan kendaraan. Nampak dua anak kecil membawa kayu kecil dengan tutup minuman botol yang digepengkan teraku diujungkayu tersebut menghampiri Arif. Bocah itu dengan sederhana menyanyikan lagu salah satu band Indonesia. Arif mengeluarkan selembar uang seribu rupiah dan memberikannya kepada bocah itu.
            Lampu hijau menyala. Arif kembali melajukan kendaraannya. Dalam hatinya ia merasa kasihan dengan bocah-bocah yang baru saja ia temui. Ia berharap negri ini mampu menyelesaikan masalah bocah-bocah tersebut. Yang diatas tidak hanya mempentingka kepribadiaanya. Sekolah Haqi sudah mulai terlihat. Nampak Haqi menunggu jemputan didepan pintu gerbang sekolahanya. Arif berenti tepat di depa Haqi berdiri menunggu.
“Sudah menunggu dari tadi ya?”
“Nggak koq, kak baru sebentar paling Cuma lima menit.” Haqi menaikki motor membonceng kakaknya dibelakang. “tadi sih mau diantar bu Hartati tapi haqi tidak mau.”
“Kenapa kamu tidak mau?”
“Haqi kan pengen dijemput sama kakak, ya jadi Haqi akan tuggu sampai kakak datang.”
            Arif membelokkan sepeda motornnyauntuk kembali pulang ke rumah. Tapi dirinya tidak langsung menuju ke rumah, taoia Arif membelokkan kedaranny ke wrung es campur kesukaana dulu. Ia memarkirkan sepeda motornya di atas trotoar sebelah selatan warung. Mereka berdua memasuki warung itu bersama.
“Silahakan duduk, mas. Mau pesan apa?” seorang penjual menyapa mereka berdua.
“Es campur dua mbak diminum disini dan nanti bungkuskan dua ya,mbak.” Arif memesan kepada penjua tersebut.
“Dua disini, dua bungkus?”
“Ya, mbak.”
“Kak, tiga minggu lagi Haqi mau ikut lomba di Solo mewakili Semarang tingkat Jawa tengah. Kakak doain Haqi ya!” ucap Haqi mendongakkan kepala menatap wajah kakanya.
“Wah, adik kakak memang hebat, padahal kakak dengan yang namanya matematika itu sangat tidk bisa. Tapi adik kakak yang ini kok hebat sekali bisa ikut lomba matematika tingkat Jawa Tengah. Besok kalau kak juara kaka akan beri kamu hadiah yang menarik.” Ucap Arif menyemangati adiknya..
            Es campur telah jadi, wanita yang menjual tadi membawanya ke meja tempat Arif dan Haqi berada.
“Ini mas es campurnya.”
“Terima kasih, mbak.” Setelah mendapatkan esnya Haqi langsung meyantap dengan lahapnya.
“Eh, Haqi baca basmalah dulu. Jangan asal santap.” Arif mengingatkan adiknya.
“Ya,kak lupa. Bismillahirrohmanirrohim.”
             Melihat tingkah adikya Arif hanya tersenyum tipis. Begitu juga si penjual yang masih berdiri didepan mereka berdua.

                                                « « « « «

            Teman-teman pak Saiful telah bergegas meniggalkan kantor. Pak Saiful masih mememasukkan barang-barangnya kedalam tas hitam miliknya. Diatas meja kerjanya masih tersisa kertas yang baru diprintnya tadi siang. Tangan kanannya mengambil kertas itu. Sesekali lagi ia melihat kertas itu. Pundaknya terasa disentuh oleh seseorang. Pak Saiful memalingkan badan. Dirinya mendapati pak Imron berdiri dibelakangnya. Direktur perusahaan itu mengeluarkan senyuman tertuju ke pak Saiful.
“Kertas apa itu, pak?” Tanya pak Imron.
“Oh, ini hanya kertas print biasa.” Pak Saiful mencoba menyembunyikanny.
“Coba, pak saya lihat sebentar.”
            Pak Saiful terdiam mendengar permintaan pak Imron. Tangannya dengan berlahan memberikan kertas itu kepada atasanyya. Padahal dirinya belum ingin ada orang yang mengetahui. Tapi apa daya dirinya tidak bisa menolak permintaan atasannya. Pak Imron menerima ketas iru dan terlihat membacanya dengan serius.
“Sungguh bahagia ya menjadi bapak, memmpunyai anak yang cerdas. Prestasi yang luar biasa ditunjukkan oleh mas Arif, bisa diterima di universitas Al-Azhar mesir. Inginya anak perempuan saya yang tahun ini juga daftar di mesir diterima disana. Berarti kita punya cita-cita yang sama ya, pak.”
“Ya saya doakan semoga dek Zahra juga diterima disana. Nanti kan bisa jadi temanyya Arif disana.”
“Amiin, nanti kita juga bisa besanan.”
            Pak Saiful tertawa kecil mendengar ucapan pimpinanyya.
“Bapak saya ajak makan duu mau ya.” Ajak pk Imron kepada pak Saiful.
“Bukannya saya mau menolak, pak. Tapi saya ingin cepat-cepat memberikan kabar ini kepada anak saya.”
“Ya sudah gak apa-apa. Kalau gitu tolong sampaikan ucapan selamat saya kepada mas Arif ya, pak.”
“Insya Allah akan saya sampaikan.”
“saya pulang dulu, pak Assalamu’alaikum.” Pak Imron berjalan keluar kantor menignggalkan pak Saiful.
“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokaatuh.” Jawab pak Saiful.
            Pak Imro berjalan menuruni tangga perusahaan, sementara pak Saiful masih mengemasi barang-barang bawaannya. Dengan cepat dan sedikit tak sabar ingin memberikan kertas itu kepada anak sulungnya pak Saiful berjalan keluar kantor.

                                                    « « « « «

            Arif melepaskan rasa capeknya didalam kamar. Ia menghidupkan kipas angin dan menjatuhkan badannya ke atas ranjang. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Berniat setelah sholat isya dirinya berniaat pergi ke warnet ntuk melihat hasil test beasiswanya karena hasil test diumumkan di internet satu hari yang lalu. Jika menunggu surat panggilan dari Jakarta membuthkan waktu yang sdikit lebih lama karena pengiriman dari Jakarta ke Semarang menggunakan pos. dalam pikirannya selalu terbayang-bayang keindahan sungai nil dan kemegahan piramida.
            Pintu kamar tendengar seperti ada yang mengetuk. Arif bangun dari berbaringnya dan berjalan menuju pintu untuk membukanya. Ia pun membuk pintu, Haqi berdiri didepan pintu.
“Kak, ini ada soal matematika yang sulit, tolong Haqi diajari kak.” Pinta Haqi
“Sini masuk ke kamar nanti klau kakak masih bisa tak kasih tau, kamu.”
            Haqi masuk kedalam kamr kakaknya. Didalam kamar seorang kakak dngan penuh kelembutan mengajari adiknya. Walaupun dirinya tidak begitu suka pelajaran matematika tetapi saat SD dulu Arif merupakan orang yang ahli dalam pelajaran matematika. Setelah mondok dan mengenal pelajaran-pelajaran salaf, dirinya sedikit tidak menguasai pelajaran umum.
            Dari dalam kamar terdengar suara sepeda motor pak Saiful memasuki halaman rumah. Setelah membawa motornya ke belakang rumah, pak Saiful berjalan memasuki rumah. Rumh nampak sepi, pak Saiful mengucapkan salam. Dari dalam dapur bu Saiful menyambut kedatangan suaminya.
“Kok sepi Arif mana, Bu?” Tanya pak Saiful.
“Ada, pak. Didalam kamar sedang mengajari adiknya matematika. Emang ada apa, Pak?
“Tadi bapak sudah printkan hasil test beasiswanya dan pendaftaran ulangnya seminggu lagi di Depag. Ini kertasnya, bu.” Pak Saiful membuka kertasnya dan megambil selembar kertas HVS.
“Saya panggilkan Arifnya dulu, pak.”
            Bu Saiful berjalan menuju ke kmar Arif. Didalam kamar kedua anaknya sedang serius belajar.
“Haqi, bapak sudah pulang. Cepat salaman. Dan kamu Arif, bapak bawa kado special buat kamu. Cepat kamu temui di ruang tamu. Haqi berlari menuju bapaknya berada dan disusul kakak danibunya dibelakang berjalan pelan. Di ruang tamu pak Saiful sedang duduk melepas lelah.
“Arif, Haqi sini duduk. Bapak ingin bicara sesuatu kepada kalian.” Arif pun duduk disebelah kanan bapaknya.
“Bapak ingin sekali punya anak yang sholeh dan cerdas. Dan bapak pengin sekali punya anak bisa kuliah di al-Azhar. Walaupun bapak gak punya banyak uang tapi bapak mengharap anak bapak bisa kuliah di Cairo.” Arif terdiam mendengar ucapan bapaknya. Pak Saiful menghela nafas sebentar.
“Dan kamu Arif, kamu merupakn harapan bapak untuk mewujudkan keinginan itu, kamu juga yang akan menjadi contoh bagi adik-adik kamu. Kemarin bapak terkejut sekali ketika bapak membuka situs di internet dan mengetahui hasil test kamu. Bapak hampir tidak percara, Rif.”
            Arif masih terdiam mendengar ucapan-uapan yang keluar dari lisan bapaknya itu. Dalam fikirannya dia berfikir kalau dirinya tidak diterima di universitas yang diidam-idamkan bapaknya itu.
“Dan hasil testnya ini, rif.” Pak Saiful menjulurkan kertas yang telah diprintnya tadi siang kepada Arif. Arif menerimanya dengan rasa hormat. Kedua tanganny membuka setiap lipatan kertas itu. Kedua matanya melihati semua yang tertulis diatas kertas tersebut. Disamping dirinya, Haqi juga ikut membaca isi dari selembar kertas tersebut. Tepat pada tulisan “Arif Abdullah Hasan” hatinya bergetar tak peraya. Ia mengulang membacanya terus-menerus.
            Seketika itu dirinya bersujud menghadap kiblat sebagai rasa syukurnya tas karunia-Nya yang telah diberikan. Ia sedikt masih tak percaya karena saat mengerjakan test yang semua memakai bahasa Arab dirinya sedikit kesulitan saat mengerjakan. Tapi dengan keoptimisannya ia dapat meraih cita-citanya. Air matapun membasahi pelupuk matanya. Pak Saiful berdiri mendekati Arif dan memeluk anak sulungnya itu.
“Selamat, nak. Bapak sangat bangga dengn kamu.”
            Bu Saiful yang berdiri di belakang Arif juga mengeluarkan butiran-butiran air mata kebahagiaan. Dirnya mendekati Arif dan memeluknya.
“Ibu juga senang engan kamu, Nak.” Ucap bu Saiful melepaskan pelukan.
            Kedua tangan Arif meraih badan Haqi yang duduk di sampingnya. Air matanya kembali meluap. Bibirnya mencium kening halus adiknya. Ia kembali bersujud atas nikmat yang diberikan kepadanya
            Robbi auzi’ni an asykuroni’matakallatii an’amta ‘alaiyya wa ‘alaa walidayya wa an a’mala sholihan tardlohu birohmatika fii ‘ibad dikas sholihiin.
           

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

About

Assalamu'alaikum Ahlan Wa Sahlan Bihudzuurikum Salam hangat saling menyapa dan berbagi untuk membangun negeri . . . .

Search

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.