Kehidupan Qosyim



            Kamar Qosyim terlihat berantakan. Selimut kasur tidak tertata dengan rapi. Dirinya belum sempat menata kamar kecil satu-satunya. Kehidupan seorang laki-laki memang begitu. Apalagi dia hidup di satu rumah sendirian. Qosyim masih membaca kitab Quttul Habbib Syarah Fathul Qorrib, mempelajari huku-hukum islam. Kesenangannya membuat ia mengambil mata kuliah jurusan Hukum Islam walaupun ayahnya seorang pengusaha.
            Handphone yang bergeletak disampingnya bergetar. Tangan kanannya meraih handphone yang tidak jauh disampingnya. Nampak di layar handphone tulisan nama Firman. Ibu jarinya menekan tombol bergambar telepon berwarna hijau.
“Assalamu’alaikum, ada apa, Man.” Tanya Qosyim
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Firman “Kamu sudah beli buku buat referensi bahan skripsi apa belum?”
“Oh, ya. Sory lupa. Ya sudah Insya Allah habis ini tak langsung beli.”
“Kamu hari ini ada acara apa tidak?”
“Nggak ada, emangnya ada apa?”
“Aku mau main ke rumah kamu. Sekalian mau Tanya soal skripsi. Kamu kan jago masalah menulis. Lha wong karyamu udah banyak yang terbit. Skripsi kamu sudah jadi ya?”
“Lha wong kuliah masih satu tahun lebih kok sudah bikin skripsi. Kalau kamu kan masih delapan bulan lagi.”
“Nggak gitu, kamu kan paling rajin kalau masalah menulis. Bisa-bisa kamu udah buat skripsi sebelum kuliah.” Ucap Firman dengan tertawa.
“Ngaco kamu, nyindir ya. Sekali lagi gak aku beliin bukunya!”
“Gitu aja marah, Cuma bercanda. Just kidding, coy. Tapi bolehkan aku main ke rumah kamu.”
“Terserah kamu.”
“Ya sudah segini saja. Pulsaku mau habis. Jangan lupa bukunya. Nanti uangnya tak ganti. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab Qosyim
            Qosyim memencet tombol keluar, menaruh handphonenya kembali diatas ranjang dan meneruskan membaca kitabnya. Baru beberapa menit handphonenya kembali bergetar. Tangan kirinya meraih handphonenya. Firman mengirimkan sms kepadanya.
“Oh yaw Q lpa. . . . . . . btw adik qm da disitu pa nggak . . . . . .”
Qosyim merasa sdikit jengkel dengan teman satunya ini. Jari-jarinya mengetik membalas sms dari firman
            “Gug da. . . . . . dah di Mesiiiirrrr.” Handphonenya digeletakkan lagi di sampingnya. Tapi baru kurang dari dua menit handphonenya kembali bergetar. Qosyim melihat layar handphonenya ternyata balasn dari Firman. Qosyim membiarkan handphonenya berbunyi, Dirinya menutup kitab dan menaruhnya  diatas meja di depannya. Dirinya beranjak mandi dan pergi ke toko buku Gramedia untuk membeli buku yang dibutuhkannya dan pesanan dari Firman.

                                                   « « « « «

            Suasana masih belum panas. Hari ini hari Ahad. Pak Imron tiak pergi ke kantornya. Zahra yang mesih berada di rumah menyiapkan sarapan untuk bapaknya. Meski sudah ada pembantu, dirinya tidak terlalu bergantung kepadanya. Kemandirian yang tertanam pada jiwa anak-anak pak Imron tumbuh ketika ditinggal wafat ibunya. Bahkan Qosyim sendiri lebih memilih tinggal sendiri di rumah sederhana selama kuliah dan dia sukses sebagai penulis.
            Pagi ini Zahra bermaksud untuk persi ke rumah dimana kakanya tinggal. Nasi goring kesukaan kakaknya telah ia siapkan special buatannya sendiri. Ia sudah tau dengan makanan kesukaan kakaknya. Dari belakang abahnya berjalan mendekat.
“Kamu mau ke rumah kakakmu ya?” Tanya pak Imron
Zahra membalikkan badan. “Oh abah . . . Iya, bah. Abah mau titip sesuatu?
“Tolong ini nanti kamu berikan pada kakakmu ya.” Pak Imron menyerahkan sebuah amplop putih dari kantong bajunya.
“Insya Allah, bah akan saya sampaikan. Tidak ada yang lain?”
“Tidak. Cuma itu saja. Satu bulan lagi kamu berangkat ke Mesir. Apakah kamu sudah siap semuanya?”
“Insya Allah sudah siap semua, abah. Tinggal doa dari Abah dan kak Qosyim. Emang ada apa, bah?” jawab Zahra dengan menundukkan kepalanya.
“Nggak begitu, Abah selalu befikiran kamu nanti kalau hidup di negeri orang. Kamu kan seorang perempuan.”
Zahra tersenyum mendengengar omongan Abahnya. “Mengapa mesti khawatir, Abah. Zara pergi ke negeri orang kan untuk mencari ilmu, untuk melaksanakan kwajiban. Bukan untuk melakukan kemungkaran. Lagi pula nanti disan kan juga banyak teman-temannya. Anggap saja sama seperti Zahra masih mondok.”
Mendengar jawaban anak putrid satu-satunya pak Imron merasa lega. Jawaban yang dapat membuatnya bangga dengan anaknya itu. Pak Imron berjalan mendekati Zahra den memegang kepalanya.
“Abah sangat bangga terhadapmu, Zahra. Abah sangat meridloi kepergianmu menuju ke negeri orang. Semoga semua ilmu yang kamu dapatkan bisa menjadi bermanfaat bagi dirimu dan orang lain.”
“Amiin.” Lirih Zahra pelan.
“Oh ya, Zahra. Nanti tolong bilang kepada kakakmu kalau abah tidak bisa datang kesana. Abah mau datang mendatangi undangan pernikahan dari teman kantor abah. Nanti kamu biar diantar pak Kartono ya?”
“Tidak usah bah, biar Zahra naik motor sendiri saja. Nanti Zahra kan agak lama. Biar pak Kartono yang nganterin Abah saja.”
“Ya sudah. Abah pergi dulu. Jangan lupa pesan Abah. Hati-hati dijalan.”
“Iya Bah.”
            Pak Imron berjalan menjauhi Zahra berdiri. Zahra segera menyiapkan dengan pa yang harus dia bawa untuk pergi ke rumah kakaknya. Ia mengambil handphone yag tergeletak diatas meja disampingnya. Dirinya hendak menghubungi kakaknya untuk member tahu kalau dirinya hendak pergi ke rumanya. Beberapa kali nomor kakaknya ia hubungi, tapi selalu tidak ada jawaban. Ia pun menyerah. Handphone di taruhnya kembali diatas meja. Ia bergegas ganti pakaian dan pergi ke rumah kakaknya.

                                                « « « « «
            Suasana toko buku Gramedia belum begitu ramai. Tempat parkirnya pun belum dipenuhi dengan seped motor. Qosyim memarkirkan sepeda motorny diantara tenggangan-tenggangan sepeda motor yang masih sedikit. Helmya ditaruh diatas spion motor. Langkahnya berjalan memasuki toko buku terbesar itu. Penjaga toko menyambut kedatangannya dansetiap pengunjung yang datang.
            Qosyim berjalan menuju rak yang terkumpul buku-buku yang menerangkan tentang hokum hokum islam. Setiap buku yang tertata di rak tersebut ia baca belakangnya yang merupakan rigkasan dari buku itu memilih mana yang cocok untuk dirinya. Tangan kanannya memegang sebuah buku tebal yang ditulis oleh Dr. KH. Sahal Mahfudz. Ia sangat kenal dengan seorang ulama’ dari pati tersebut. Dirinya pun merasa cocok dengan apa yang di pegangnya. Dia berjalan kembali mencari buku yang dipesan oleh Firman tadi pagi. Ia mengambil buku mengenai cara kerja bank islam karena Firman memang mengambil jurusan Perbankan Islam.
            Dua buku ia bawa menju kasir yang tidak jauh dari tempat ia berdiri. Pandangannya melihat ratusan bakan ribuan buku yang ada di dalam toko tersebut. Tangan kanannya menyerakan dua buku yang ia bawa ke seorang yang menjaga kasir.
“Cuma ini mas?” Tanya sang kasir.
‘Iya mbak” jawab Qosyim.
“Semuanya delapan puluh tujuh ribu mas.”
Qosyim mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan menyerahkan ke kasir tersebut.
“Ini mas, kembaliannya tiga belas ribu. Trima kasih mas.” Ucap sang kasir dengan memberikan buku yang dibeli Qosyim.
            Qosyim berjalan menuju keluar toko buku tersebut menuju tempet parker motor. Suasana jalan raya masih ramai. Ia melihat jam tangannya. Jarum jam menunjkkan pukul setengah sebelas. Qosyim mengeluarkan sepeda motornya. Seorng petugas parker mengatur keluar masuk kendaraan menuju toko. Qosyim memberikan selembar uang seribu kepadapetugas parkir. Sepeda motor melaju pelan tersendat oleh maet. Sampai di gayamsari jalan mulai sedikit. Kemacetan sudah mulai terkendali.sepeda motor Qosyim kembali melaju melewati jalan raya. Hanya dua puluh menit ia telah sampai di depan gank rumahnya.
            Di depanterasnya nampak seorang perempuan berkerudung biru sedang duduk seperti menunggu seseorang. Ia memarkirkan sepeda motornya dan menghampiri tamu perempuannya itu.
“Zahra?” Qosyim penasaran
“Iya kak, ini Zahra. Masak sama adik sendiri lupa. Dari mana kak?” Tanya Zahra.
“Dari Gramedia. Sudah lama ya nunggu? Sana masuk. lha wong gak di kunci kok pintunya.”
“Gak kok kak. Baru sebentar. Paling baru lima menit. Ini kak Zahra bawakan nasi goring buatan Zahra sendiri. Kakak kan suka banget sama nasi goring.
“Terima kasih. Bawa langsung saja ke dapur. Nanti biar kaka siapin sendiri aja.”
“Oh ya kak. Tadi Zahra dipesan abah untuk memberikan ini kepada kakak.” Zahra menyerahkan amplop yang diberi pak Imron kepada Qosyim.
Qosyim menerimanya. Zahra berjalan menuju ke dapaur dan menyiapkan nasi gorengnya sedangkan Qosyim duduk dikursi depan. Setelah semuanya sudah disiapkan Zahra keluar membawa piring berisi nasi goring dan diletakkan diatas meja didepan tempat duduk kakaknya. Ia pun duduk disamping kakaknya.
“Lho. Tadi kakak kan sudah bilang, nanti kakak siapin sendiri kok malah kamu yang nyiapin.
“Gak apa-apa kak. Kenapa kakak kok gak tinggal dirumah sana saja sama aku dan Abah? Disana kan fasilitasnya lebih lengkap dan kakak lebih tenang dalam kuliah.” Tanya Zahra.
“Kakak kan sudah bilang kalau kakak mau memulai hidup ini dari nol. Ya jadi kakak mau merasakan hidup ini bagaimana. Kamu kan tau sendiri bagaimana kehidupan seorang santri. Miskin, kaya tidak ada bedanya. Kamu sendiri kan juga pernah merasakan sebagai santri. Itulah bagaimana kakak ingin merasakan. Jadi setelah lulus dari pondok kakak masih ingin menjadi santri. Hidup mewah boleh tapi jangan bermewah-mewahan.
Zahra terdiam. Suasana menjadi sepi.
“Oh ya kak ada kabar gembira. Sebentar lagi Zahra mau pergi ke negerinya para nabi.”
“Benar itu dik. Kamu memang hebat sekali.’ Qosyim sedikit kaget.
“Benar kak, makanya abah meminta kakak untuk tinggal kembali ke rumah abah. Siapa lagi kalau bukan kakak yang dapat menemani dan menghibur Abah.” Pinta Zahra kepada kakaknya.
“Ya, insya Allah nanti kalau kamu akan berangkat ke sana. Kakak akan pindah dan hidup di rumah sana.”
“Beneran kak?”
“Insya Allah.”
“Kamu ke mesir ambil jurusan apa?” Tanya Qosyim.
“Ambil jurusan bahasa dan sastra arab kak kalau gak ya Hadist. Kemarin sudah di test oleh Syekh Syahad salah satu dosen mesir dan Alhamdulillah hasilnya mumtaz.”
Qosyim tersenyum kecil. Terdengar katukan pintu dari luar rumah. Arif berjalan menuju ke pintu dan Zahra mesuk ke dalam dapur.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Firman berdiri didepan pintu.
“Wa’alaikumussalam. Masuk sini ora usah isin-isin koyok biasane piye?. 4 Ucap Qosyim mempersilahkan.
            Firman masuk ke ruang tamu dan duduk dikursi yang ada. Qosyim masuk ke dapur untuk membuatkan minum dan membawa makanan kecil. Di dalam dapur telah ada Zahra yang sedang membersihkan peralatan-peralatan dapur.
“Ada tamu ya, kak. Biar Zahra saja yan buatkan minuman. Nanti Zahra bawa keluar.”
4. tidak usah malu-malu. Kayak biasanya aja kenapa?
“Ya udah. Jangan lama-lama diluar. Teman kakak cowok.”
Zahra mengangguk faham. Arif keluar dari dapur menuju ke ruang tamu menemui Firman yang telah duduk menunggu. Dirinya duduk disamping kanan Firman. Mereka berdua berbincang-bincang dengan sangat akrab. Suara langkah kaki terdengar dari dala dapur. Zahra berjalan membawa dua gelas the dan setoples makanan ringan. Ditaruhnya dua gelas teh dan makanan ringan diatas meja. Zahra menundukkan kepalanya. Firman melihati jari-jari lembut Zahra. Lintik-lentik jarinya seperti menari diatas meja. Setelah semua ditaruh diatas meja, Zahra langsung masuk kembali ke dapur.
“Subhanallah, Hadza min fadli Robbii.” Ucap Firman cengengesan.
“Ngapain kamu!” Gertak Qosyim.
“Ng . . . . nggak apa-apa. Tadi siapa syim? Cantik bener.??” Firman nyengir.
“Nggak siapa-siapa. Ini buku yang kamu pesan tadi. Sudah mau tunangan masih ngelirik cewek. Aku bilangin sama Nabila baru tau kamu.” Qosyim menyerahkan buku tebal yang telah dibelinya dari Gramedia.
“Jangan dong. Lha wong cuma bercanda kok. Gak beneran. Harganya berapa?”
“Gak usah, gratis saja. Sama teman sendiri harus saling menolong.”
            Zahra masih sibuk mencuci peralatan dapur milik kakaknya. Ia berhenti didepan kamar kakakya. Kedua matanya melihat stiker yang tertempel pada pintu kamar. Stiker itu bertuliskan
            “Jumpa pers penulis-penulis se-Jawa Tengah.”
Dalam hatiya kaget dengan tusan yang tertempel pada pintu tersebut. “Kakak seorang penulis?” Lirihnya pelan.
                                                      « « « « «

            Sudah hampir satu jam Firman berada dirumah Qosyim. Dirinya beranjak pamit untuk pulang. Keduanya berdiri dri tempat duduknya. Tangan kanan Firman membawa kantong plastic putih berisi buku yang telah dibelikan Qosyim dari Gramedia.
“Terima kasih lho, Syim. Aku ngerepotin kamu aja.” Ujar Firman.
“Gak apa-apa. Aku juga berterima kasih sama kamu. Sudah mau main kerumahku.”
“Ya sudah aku pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
            Firman mengendarai sepeda motornya menjauhi rumah sahabatnya. Qosyim kembali masuk kedalam rumah. Gelas yang tadi berada diatas meja telah tiada. Suara kran terdenar dari tempat mencuci. Ia melangkahkan kaki menuju tampat mencucinya. Terlihat air kran mengisi ember dibawahnya.
“Sudah pulang, kak temannya?”
“Sudah. Kok malah kamu sih yang nyuci. Gak usah biar kakak saja.”
“Gak usah kak biar Zahra saja yang mengerjakan.” Zahra mengelak “Kak, Zahra boleh Tanya sesuatu gak?”
“Tanya apa?” Qosyim penasaran.”
            Kran yang masih hidup dimatikan Zahra. Mereka berdua duduk dikursi tempat makan. Zahra ingin menanyakan sesuatu yang dilihatya dipintu kamar kakanya tadi.
“Kak, tadi Zahra berjalan melewati depan kamar kakak, dan Zahra melihat stiker bertuliskan jumpa pers penulis se-jawa tengah. Terus Zahra berfikiran kalau kakak seorang penulis. Apa itu benar, kak? Tapi kenapa kakak tidak cerita sama Zahra dan juga Abah.” Kata Zahra.
            Qosyim terdiam mendengar ucapan lembut adiknya itu. Apa yang harus dia jawab. ia tetap terdiam. Dalam hatinya berbisik tentang rahasianya untuk tidak memberitahukan pekerjaannya sebagai penulis. Ia bertekad kalau tidak akan memberitahukannya sebelum ia sukses. Suasana menjadi sepi. Zahra kembali mengangkat bicara.
“Kenapa kakak diam? Apa benar kakak seperti yang Zahra ucap tadi.” Ucap Zahra memojokkan.”
            Seakan-akan Qosyim telah berada di sudut ruangan yang dikelilingi oleh harimau-harimau yang akan memangsannya. Dirinya tidak akan mterlalu lama lagi untuk menyembuyikan sesuatu yang rahasia baginya. Dengan suasana yang tenang dan mantap ia menatap wajah lembut adiknya.
“Zahra adikku. Apa yang kamu lihat dan kamu tanyakan itu meupakan suatu rahasia tentag kehidupn kakak. Semenjak kakak kelas satu aliyah dan mondok di Kudus dulu kakak memang suka tulis-menuis. Hobi itu muncul karena kakak suka membaca novel islam dan terinspirasi oleh seorang ulama’ dan penulis seerti Gus Mus, Gus Dur dan lain-lain. Semenjak itu kakak mulai menulis sebuah novel.” Qosyim menghela nafas.
“Setelah kakak selesai aliyah dan boyong dari kudus kakak mencoba mengirimkan satu novel islami kakak. Setelah satu bulan kakak bergabung dengan sala satu forum penulis yang ada di Semarang. Dan itu kakak masih merahasiakannya. Kakak ingi sukses dulu sebelum abah mengetahuinya. Makanya kakak minta kepada Abah untuk menempati ruma ini. Dan disini kakak bisa terinspirasi tentang jerih payahnya sebuah kehidupan.” Terang Qosyim panjang lebar.
            Zahra terdiam mendengar cerita kakaknya. Rasa haru menerpa hatinya. Sebuah cerita asli dan merupakan nasihat bagi dirinya. Dirinya tidak menyangka kalau kakak satu-satunya itu merupakan penulis yang menolak jabatan yang tinggi diperusahaan milik Abahnya. Dan ia ingat ketika kakaknya itu diterima di Universitas Darul Ulum, Makkah. Kakaknya itu rela melepaskannya karena ibunya yang sedang kritis melawan penyakit jantungnya. Zahra bertekad ingin memberikan yang terbaik untuk kakaknya dengn diterimanya di Cairo.


                                                    Ì Ì Ì Ì Ì





Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

About

Assalamu'alaikum Ahlan Wa Sahlan Bihudzuurikum Salam hangat saling menyapa dan berbagi untuk membangun negeri . . . .

Search

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.